Pengantar Buku

(Ada dua tulisan di buku ini, yaitu tulisan Dr. Faruk HT dan Saut Situmorang. Tulisan Faruk mengupas, tulisan Saut ulasan global mengenai ekstase teks.)



 ANTARA PENJARA DAN PEMBEBASAN BUDAYA
DAN JAWABAN KULTURAL DUA PENYAIR BANJAR
             oleh. Dr. Faruk HT

10 agustus 2005
Jika meninggal seorang besar
Di sampingmu, maka
Menangislah alam raya
....
Aku tak mampu menyebutkannya
Sebuah senyum
Dan badan yang tegap,
Hanya sebuah foto
Dengan orang-orang yang
Berebut untuk mendekat
Padanya
Ada juga anak kecil
Yang berpangku padamu
Aku tak mengenalmu
secara dekat
tapi setiap kematian
orang besar selalu
membuatku kehilangan
serasa kudengar lagu-
lagu indah
menyapa kedalaman
jiwaku
Shalawat bagi Nabimu
Shalawat bagimu

Membaca puisi di atas saya seperti mendengar kembali gaung suara Chairil Anwar dalam Catetan Tahun 1946: “Lahir seorang besar dan tenggelam beratus ribu/ Semuanya harus dicatet, semuanya dapat tempat”. Tapi, betapa berbedanya puisi tersebut dibandingkan dengan puisi Chairil. Pertama, Chairil melihat kelahiran sebagai harapan, kematian sebagai bencana yang membuat putus asa, dan harapan dan keputusasaan itu harus dicatat secara bersamaan sehingga yang satu menihilkan yang lain. Hajriansyah sebenarnya juga memahami kematian seorang besar sebagai “membuatku kehilangan”. Hanya saja, ia menempatkannya ke dalam “kebesaran” yang lain, yang seakan terus hidup, sehingga rasa kehilangan menjadi tidak berarti, keputusaan dilenyapkan oleh harapan. Yang tidak kalah menariknya adalah membayangkan baris-baris puisi Chairil Anwar yang bisa dikatakan total sekuler dan bahkan nihilis tersebut ditempatkan dalam konteks yang dapat dianggap bertentangan sama sekali, yaitu idiom-idiom keagamaan Islam yang sangat eksplisit, sebuah primordialisme yang sempit, tidak sekedar religiusitas yang abstrak, universal, yang meliputi semua agama: “Shalawat bagi Nabimu/Shalawat bagimu”.

Chairil Anwar di Jawa, kepulauan yang paling metropolitan di Indonesia, wilayah masyarakat dan kebudayaan yang mempunyai sejarah persentuhan yang panjang dengan berbagai kekuatan-kekuatan sosial dan kultural manca negara, berhadapan dengan Hajriansyah di Banjarmasin, sebuah kepulauan yang jauh agak terlambat dalam proses modernisasi dan globalisasi, sebuah wilayah yang dapat dikatakan terpencil, jauh dari arus kebudayaan metropolis. Jawa yang di sepanjang sejarahnya telah membuktikan diri dapat membangun sebuah komunitas besar, luas, melalui penaklukan kerajaan-kerajaannya, dari Majapahit hingga Mataram, dan Banjar yang pernah menjadi jajahan Jawa, mengalami pengaruh Jawa yang mendalam, yang masyarakatnya terbangun dari komunitas-komunitas kecil, dengan jarak yang amat dekat dengan masyarakat dengan pola ekonomi beburu dan ladang berpindah di pedalaman Kalimantan. Jawa yang telah membangun sebuah kultur simbolik yang rumit, yang setara dengan keluasan jangkauan komunitas dan kebudayaannya, dan Banjar yang hidup dalam sebuah kultur simbolik yang amat sederhana, dengan bahasa dan tata sopan santun yang hampir tidak berjarak dengan bumi, sebuah masyarakat dan kebudayaan ladang yang egaliter, tetapi sekaligus terikat kuat pada konteks kekinian hidup, di sini dan kini.
Banjar memang sebuah bangunan sosial dan budaya yang serba kecil, yang bisa dikatakan hanya merentang pada batas kampung yang kecil, yang batas-batasnya dengan kampung lain ditandai dengan adanya langgar dengan seorang “tuan guru” panutan yang biasanya tinggal dan bahkan menjadi pemilik langgar itu. Banjar tidak mempunyai raja besar, yang wilayah kekuasaannya meliputi seluruh wilayah Kalimantan Selatan, dari muara sampai hulu-hulu sungai. Berbeda dari Jawa yang sampai sekarang raja, keluarga raja, istana-istana raja, lingkungan sekitar raja, dipahami dan dipercaya sebagai pusat peradaban, menjadi teladan bagi masyarakat dan kebudayaan yang ada di berbagai wilayah pinggiran, mancanegara ataupun pesisir. Memang dulu pernah ada raja. Namun jejak kekuasaan dan pengaruh raja itu bisa dikatakan tidak pernah semendalam pengaruh raja-raja Jawa. Martapura, Pelampayan (?), sampai sekarang memang menduduki posisi seperti raja dan wilayah kerajaan besar Jawa. Orang-orang di wilayah pinggiran mengakui kharisma dan kesaktian yang memancar dari wilayah itu. Namun, tidak ada pola-pola kebudayaan tertentu yang tersedia sebagai model bagi kebudayaan-kebudayaan pinggiran. Fenomena terakhir, Martapura mulai menjadi pusat budaya Islam dengan Haji Ijai sebagai kyai kharismatiknya. Namun, perkembangan itu justru terjadi pada saat teknologi informasi telah membawa orang Banjar ke wilayah yang jauh lebih luas, tidak hanya ke Jawa, tetapi ke seluruh dunia. Di Jawa bermunculan banyak da’i yang kehadirannya ke dalam rumah-rumah tangga orang Banjar jauh lebih intensif dan ekstensif dibandingkan kehadiran Guru Ijai. Di samping itu, muncul berbagai organisasi dan gerakan-gerakan Islam yang berpusat di Jawa, yang justru menanamkan pengaruhnya ke Banjar. Belum lagi munculnya simbol-simbol pengikat solidaritas Islam global, baik berupa tokoh-tokoh Islam, gerakan-gerakan Islam, ataupun peristiwa-peristiwa heroisme Islam sebagaimana yang terjadi di Iran, di Palestina, di Irak, di Afganistan, dan sebagainya.
Tapi, siapakah orang Banjar itu? Jika orang Banjar dibayangkan sebagai penduduk asli Kalimantan Selatan, pastilah mereka adalah orang-orang yang dulunya bersuku Dayak, seperti orang Bakumpai, yang kemudian bersentuhan dengan pendatang-pendatang Melayu dan kemudian Jawa atau bahkan Bugis. Dengan kata lain, orang Banjar sejak semula adalah masyarakat pesisir yang sudah tidak hanya bersentuhan dengan dunia luar, melainkan mungkin bercampur dengannya. Persentuhan dengan dunia luar itu tidak hanya terjadi pada masa-masa kebudayaan Hindu, Islam yang mungkin berpusat di Jawa sebagaimana yang terbukti dari kegemaran orang-orang Banjar berziarah ke makam para wali, melainkan juga dari kegemaran mereka untuk berziarah ke Mekah. Jawa dan Mekah, sejak lama, telah menjadi bagian integral dari masyarakat dan kebudayaan Banjar. Dalam hal Jawa, posisinya bukan sekedar sebagai pusat penyebaran Islam, melainkan bahkan pusat penyebaran peradaban modern, kebudayaan Barat, yang mungkin tercipta di sepanjang sejarah kolonialisme Belanda di Indonesia. Sewaktu saya remaja, salah satu kebanggaan anak-anak muda pada waktu itu adalah keberanian untuk merantau ke Jawa, entah Surabaya yang jaraknya paling dekat dari Banjarmasin, maupun Jakarta. Akan lebih hebat lagi, kalau mereka berangkat tanpa modal, naik kapal dengan mencuri-curi, bersembunyi di geladak, dan seterusnya.
Tidak hanya ke Jawa. Gerakan orang Banjar ke luar wilayah teritorialnya juga terarah ke berbagai wilayah di Indonesia dan bahkan di Malaysia. Jejak-jejak keperantauan orang Banjar terlihat dari terdapatnya banyak pemukiman orang Banjar di luar wilayah asalnya itu: di Tambilahan, Riau, di Sumbawa, di berbagai kota di Jawa, termasuk Yogyakarta, dan bahkan di beberapa negara bagian di Malaysia. Di wilayah sekitar Kalimantan sendiri kekuatan keperantauan orang Banjar itu bahkan tampak menyolok sebagaimana terbukti dari digunakannya bahasa Banjar sebagai salah satu bahasa pergaulan di kota-kota di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.
Seperti orang-orang Madura, Bugis, Minang, orang-orang Banjar termasuk suku perantau. Namun, keperantauan orang Banjar memperlihatkan satu kekhasan, yang membedakannya dari pola perantauan suku-suku lain di atas. Sebagaimana yang terbukti dari terbentuknya banyak pemukiman orang Banjar di berbagai wilayah-luar di atas, perantauan orang Banjar adalah perantauan untuk selama-lamanya, perantauan untuk tidak hanya tidak kembali lagi ke daerah asal, melainkan tidak membangun jalinan komunikasi lagi dengan masyarakat dan kerabatnya yang tinggal di daerah asal itu. Inilah yang oleh orang Banjar dinamakan “madam”. Kata ini, tampaknya, berhubungan dengan kata “padam”: mati. Dengan kata lain, merantau bagi orang Banjar sama dengan meninggalkan dunia untuk selama-lamanya: tidak kembali lagi, tak ada kabar berita lagi. Dan, pola “madam” ini pula yang seringkali digunakan untuk memaknai keberangkatan orang-orang Banjar ke Mekah, setidaknya sampai tahun 60-an, ketika saya masih berada di Banjarmasin, ketika jalan ke Mekah hanya dapat ditempuh dengan kapal laut yang membutuhkan waktu berbulan-bulan, ketika alat komunikasi pun belum mampu mempertalikan para peziarah religius itu dengan daerah dan masyarakat asalnya.
         Fenomena “madam” mengindikasikan orang Banjar tidak terlalu terikat dari wilayah teritorial tempat asalnya, bahkan dengan lingkungan masyarakat dan kebudayaan tempat mereka dibentuk. Inilah sisi keluasan dunia orang Banjar, kemampuan dan kemudahannya untuk bergerak ke mana saja, tinggal dan hidup di mana saja. Namun, kecenderungan demikian menyembunyikan kenyataan lain yang memperlihatkan kenyataan yang sebaliknya, yaitu kesempitan dunia mereka. “Madam” sebenarnya tidak membuat orang Banjar menanggalkan sama sekali identitas kebanjarannya. Identitas itu bertumpu pada determinan terkuat dari kebanjaran, yaitu bahasa Banjar. Ke mana pun mereka pergi, di mana pun mereka tinggal, orang Banjar selalu berusaha mempertahankan bahasanya, bahasa Banjar itu. Orang Banjar, dengan demikian, adalah orang yang terpenjara oleh bahasanya, dunianya menjadi sesempit bahasa Banjar. Begitu kuatnya terali-terali besi bahasa Banjar ini mengurungnya sehingga orang Banjar amat sulit beradaptasi dengan sempurna dengan bahasa-bahasa yang lain: “lidah” Banjar sulit sekali lenyap. Padahal, lidah itu adalah lidah yang amat sederhana, dengan jumlah konsonan dan vokal yang bahkan sangat terbatas: a, i, u.
Penumpuan identitas pada bahasa tersebut, di satu pihak, membebaskan orang Banjar dari ikatan komunal dan teritorial yang besar, membuat dunia mereka menjadi luas tak terbatas karena dapat bergerak ke mana saja dengan hanya bermodal bahasa Banjar, tetapi, di lain pihak, memenjarakan mereka untuk menjadi tidak pernah bisa menjadi orang lain. Terbawanya bahasa dan, dengan demikian, identitas kebanjaran yang sudah begitu menubuh tersebutlah, yang membuat pemukiman orang Banjar di berbagai wilayah luar-Banjar menjadi pemukiman yang cenderung eksklusif, dengan tata kekerabatan yang bahkan cenderung endogami.
Puisi Hajriansyah di atas menggaungkan dengan nyaris sempurna kecenderungan kultural yang demikian. Judul, tema, dan alusi puisi di atas memperlihatkan orientasi penyairnya pada sesuatu yang besar, sesuatu yang luas, yang melampaui dirinya. Namun, puisi itu sekaligus mengimplikasikan betapa ia tidak sepenuhnya terserap dalam kebesaran itu, tetap terpenjara pada dirinya sendiri, pada primordialismenya sendiri. Kebesaran yang tampil dalam puisi dan bahkan diri Chairil Anwar dipungut secara fragmentaris dan kemudian diartikulasikan kembali dengan kerangka acuan yang sempit, yaitu simbol-simbol primordial Islam. Puisi-puisi Hadriansyah dalam kumpulan ini cenderung memperlihatkan perjuangan yang terus-menerus untuk menjadi meluas, membesar, menjadi tak terbatas, dalam kungkungan yang kesempitan primordial keagamaan, kesempitan diri, kesempitan kekinian. Dalam batas tertentu ia terkadang tak pernah merasa puas dalam penjara keterbatasan itu, berusaha terus meraih keluasan yang tak terbatas, yang substansinya, dalam puisi-puisinya disampaikan dengan cara yang kabur, tidak begitu jelas karena memang mungkin di luar jangkauannya untuk menangkap dan memahami apa yang ia maui, tetapi, dalam batas-batas yang lain, ia terkandang terdampar kembali kepada kekinian, menerima dirinya sebagaimana adanya, puas pada apa yang sudah ia punyai. Atau, dia terombang-ambing di antara keluasan dan kesempitan itu. Atau, dia mengacaukan dan mencampurkan antara gerakan aktif ke luar dengan gerakan pasif menunggu di ruangnya yang sempit:

Manusia menangkap
hasratnya dan
memenjarakannya, sementara
ia sirami keinginannya
yang besar dengan kesabaran;
kesabaran seban-
ding dengan kebesaran!
Bila hujan turun, dan
daun kering berjatuhan
berharaplah, bahwa hijau
dedaunan di hari berikutnya
membahagiakan seseorang

Aku ingin terbang dan
berharap jejakku tak
pernah hilang di pasir
putih
Aku ingin merendah
sekaligus tak terkalah-
kan
Aku ingin berjuang
dan tidur yang nyaman
Aku ingin, dan aku
berharap
Aku lelah
dengan rasa yang berlebihan ini
Aku bukan siapa-siapa
Aku bukan apa apa
Aku makhluk
yang bekerja dan ikhlas atas
sgala upahku !
***

Bila Hajriansyah menerima kontradiksi itu sebagai beban yang harus ia perjuangkan untuk mengangkatnya, yang dapat membuatnya terluka ketika ia gagal untuk mengatasinya, yang membuatnya menenggelamkan diri ke dalam mimpi yang jauh, memasuki keluasan, kesempurnaan, ketakterbatasan, atau yang membuatnya akhirnya kembali berpijak di tanah, dalam kekinian, keterbatasan, dan menerima hal itu sebagaimana adanya walaupun dengan nada yang sedikit kecewa, Nahdiansyah mengambil sikap yang santai terhadap kontradiksi itu, tidak berusaha mengatasinya, entah dengan naik ke atas ataupun turun ke bumi, melainkan mencoba menikmatinya dengan mencoba bermain-main di antara keduanya, bergerak bolak-balik dari yang luas ke yang sempit, dari yang abstrak ke yang konkret, dari yang jauh ke yang dekat, dari masa lalu atau masa depan, ke kekinian.

DI KOMPLEK DE PEPERKLIP
Di komplek De Peperklip
Rotterdam: Masa kini di angkut jenazahnya
Seekor kerbau mengamuk dalam bayangan suram
Sekawanan badut terhipnotis pada tulang-tulang cahaya

”Monggo, Mas!” kata gadis itu sambil memelas
Aku sungguh tak tahu
tiba-tiba aku telah berada di atas bis yang meluncur
ke arahnya

Jumat, 31-3-00

Puisi ini berbicara mengenai sejarah kolonial yang jejak-jejaknya masih tersisa di Rotterdam. Dan, sejarah kolonial itu bukan menyangkut dirinya, bukan menyangkut Banjar, tetapi lebih menyangkut wilayah Indonesia secara keseluruhan, terutama Jawa. Ada nada suram, kontemplatif, kesedihan, seperti yang direpresentasikan oleh beberapa citra dan idiom puisi liris, nada yang dapat membawa orang ke langit, ke sebuah dunia perenungan yang tak terbatas. Kesuraman itu menjadi lebih tajam ketika “tulang-tulang cahaya Rotterdam dikontraskan dengan nasib orang Jawa yang miskin, yang menjalani kehidupan dengan terpaksa menjadi pelacur. Namun, nada liris, kontemplatif itu tiba-tiba luluh oleh penggunaan ungkapan yang sangat keseharian, juga oleh perubahan dari bahasa naratif yang bernuansa historis, masa lalu yang jauh, ke bahasa percakapan yang ada dalam kekinian. Puisi menjadi bergerak dari masa kini ke masa lalu dan kembali ke masa kini: dari gerakan melampaui waktu ke terperangkapan padanya.

POHON KEHIDUPAN

Ia datang dengan birahi penuh
datang dari balik kabut

Diseretnya sebuah gambar porno
dari seekor hominid albino

Ia terus menggumam: Aku akan bertemu
kamu

Di depan toko swalayan ia ditegor satpam
”Mau mudik ya, Mas?”

Sabtu, 30 Des 00

Dari segi judulnya puisi ini mengingatkan saya pada puisi Subagio Sastrowardoyo yang berjudul Kayon yang di dalam puisi itu diartikan sebagai ‘pohon kehidupan’. Seperti Subagio yang menggunakan pohon kehidupan sebagai asal-usul kehidupan manusia, sebuah pencarian terhadap sumber dari segala yang ada, puisi ini pun demikian. Namun, jika Subagio mencari hal yang jauh di sana itu dengan bahasa yang juga jauh di sana, bukan “bahasa manusia”, melainkan nyaris sebagai “bahasa Illahiah” seperti bahasa Arab yang tidak bisa dimengerti oleh orang Indonesia, apalagi orang Banjar, puisi Nahdiansyah ini mengungkapkannya dengan bahasa keseharian dengan citra-citra yang dipungut dari lingkungan hidup yang amat sekuler, teknologis, dan bahkan dianggap bertentangan dengan norma-norma keagamaan yang biasanya dibayangkan sebagai representasi kehidupan Illahiah itu. Ketegangan antara kedua bahasa itu dipertajam lagi oleh ketegangan seperti yang terjadi dalam puisi yang pertama, yaitu antara bahasa naratif yang melampaui waktu, kekinian, dengan bahasa percakapan yang terikat di dalamnya: “Mau mudik, ya Mas?”
Ketegangan yang di dalam puisi Hajriansyah menimbulkan usaha yang serius, yang penuh luka, untuk mengatasinya, di dalam puisi ini justru dipertahankan untuk menciptakan serangkaian kelucuan yang ironis. Seperti yang tampak dalam puisi berikut, ironi itu muncul tidak hanya dalam loncatan dan ketegangan bahasa, melainkan bahkan pada judul dan baris-baris tertentu. “Perang Bantal” benar-benar merupakan judul yang ironis. Kata pertama dari frase dalam judul itu mengimplikasikan heroisme, perjuangan yang sengit, yang dilakukan dengan mempertaruhkan jiwa dan raga, untuk mencapai tujuan yang jauh, yang ada di sana, yang penuh dengan tantangan. Tapi, kata kedua pada frase itu justru menihilkan atau memantahkan implikasi tersebut. Pertama, bantal tidak menimbulkan luka. Kedua, perang dengan senjata bantal hanyalah perang-perangan, semua permainan yang lebih banyak menyenangkan daripada melukai. Ketiga, kalaupun metaforis, bantal itu mempersempit wilayah perang: dari perang di wilayah kehidupan publik ke perang seksual di wilayah kehidupan domestik. Baris “hero-hero dadakan yang bernasib tragis”, baris tentang asap dapur yang mengimplikasikan rahmat, yang ternyata adalah kebakaran yang mengimplikasikan bencana ekonomi, merupakan baris-baris ironi yang sangat memperkuat keseluruhan puisi ini.

PERANG BANTAL

Pinjami aku sebuah puisi
tentang hero-hero dadakan yang bernasib tragis

Aku terkejut melihat dapurku berasap lagi
nggak tahunya kebakaran

Sejarah sangat panjang
kita menjalaninya dari awal

Tiba-tiba kamu merengek pengen pulang
Di tengah kelabakanku aku melihat kamu mencuri
hatiku

Aku berteriak: Wah....kebetulan!

Jumat, 28-7-00

Ada bayang-bayang Afrizal dalam puisi Nahdiansyah ini. Bayang-bayang itu tidak hanya tampak secara eksplisit pada puisi yang berjudul “Perempuan Yang Membaca”, melainkan pada keseluruhan cara bertuturnya yang selalu bermain dengan loncatan dan ketegangan antara yang abstrak dengan yang konkret. Namun, ada perbedaan yang mencolok antara keduanya dalam melakukan permainan itu. Afrizal menciptakan dunia liris di mana batas-batas antara yang satu dengan yang lain secara halus mencair, sedangkan Nahdiansyah membuat kedua dunia itu secara keras bertabrakan dan hancur. Lebih jauh, karena kehalusannya, puisi-puisi Afrizal cenderung membangun sebuah dunia dan wacana yang sangat serius, yang ironi diterima sebagai kesedihan eksistensial, sedangkan puisi-puisi Nahdiansyah membuatnya menjadi sebuah dunia dan wacana yang jenaka, yang penuh dengan sikap mentertawakan diri sendiri. Dan, saya benar-benar dibuatnya terbawa ke dalam suasana yang khas Banjar, diingatkan kembali pada Palui, pada siapa namanya pelawak Banjar yang pernah masuk teve itu, atau bahkan pada seorang teman yang menjadi tukang mamanda tunggal yang sekarang populer itu.
***
“Harat” merupakan salah satu kata kunci dalam kebudayaan Banjar. Di dalamnya terimplikasikan sekaligus orientasi masyarakat Banjar ke dunia luar, ke alam yang luas, ke Jawa, ke Mekah, dan sebagainya, dan keinginan, fantasi, ilusi untuk sama, tidak kalah, dan bahkan menang dari yang lain. “Harat” ini ditemukan dalam dialog-dialog di wayang kulit Banjar, di dalam Hikayat Banjar, dalam percakapan sehari-hari, dan seterusnya. Pada masa remaja saya, misalnya, ada seorang tokoh yang disegani, yang bernama atau dinamai atau menamakan diri “Amat Jago”. Masih pada masa remaja saya, orang-orang Banjar sangat bangga dengan dan selalu mempercakapkan Idham Halid, seorang Banjar (Amuntai) yang berhasil menjadi tokoh nasional. Sekarang, tentu di Banjar banyak orang yang berbicara mengenai Arifin Ilham dan Ian Kasela.
Tapi, ada batas yang amat tipis, yang amat ringkih, yang mudah sekali ditembus, antara “harat” dengan “paharatnya”. Dalam istilah yang kemudian ini, “harat” menjadi sesuatu yang ironis, menjadi semacam olok-olok. Ketipisan batas yang demikianlah yang tergambar dengan nyaris penuh dalam puisi Hajriansyah yang salah satu bagiannya dikutip di atas, yaitu puisi yang berjudul “Sajak Yang Lain”. Juga yang tergambar dalam nada-nada ironi puisi Nahdiansyah.
Ada yang menarik pada nama kedua penyair ini, nama yang benar-benar merepresentasikan nama yang populer di Banjar, yaitu nama yang menggunakan kata “syah” di bagian akhirnya. Nama ini sama menariknya dengan nama “faruk” walaupun nama yang kemudian ini sama sekali tidak populer dan membuat pemiliknya merasa menjadi makhluk asing di lingkungannya, membuatnya merasa terpencil, menjadi beban hidupnya. Nama-nama itu mengimplikasikan betapa orang-orang Banjar suka membayangkan dirinya, anak keturunanannya, sebagai orang besar, sebagaimana raja-raja di Arab sana. Namun, ketika semua orang menjadi raja, tak ada seorang pun yang mereka kuasai. Mereka hanya menjadi raja-raja kecil bagi tidak hanya lingkungan keluarganya, melainkan bahkan hanya pada batas dirinya sendiri.
Ada yang menakjubkan saya ketika, mungkin dua tahun yang lalu, saya berkesempatan pulang atau mungkin berkunjung ke Banjar. Ketika mampir di wilayah sekitar pertigaan antara gedung monumental yang dulu bernama Bioskop Ria, Bioskop Dewi, dan Bioskop Mawar, yang ada di sekitar Pasar Sudimampir, tampak begitu banyak kios-kios kecil yang menempel di dinding-dinding gedung. Tampaknya, inilah raja-raja kecil itu: raja tapi bukan raja karena tidak ada yang dikuasai, bukan raja, tetapi raja karena merupakan manusia-manusia bebas, individu-individu yang dapat bergerak ke mana saja. Citra mengenai raja-raja ironis, hamba-hamba yang bebas itu, semakin mencolok dengan begitu banyaknya tukang ojeg, raja-raja kecil yang lain.
Itulah suasana masyarakat dan budaya Banjar. Dan puisi kedua penyair ini menggaungkannya kembali, membuatnya seperti bahasa Banjar yang dapat membawa kebanjaran ke mana pun orang-orang Banjar pergi dan bermukim. Suasana itu adalah suasana psikologis, sosiologis, dan kultural yang terperangkap dalam kontrakdiksi antara kebesaran dengan kekerdilan, keluasan dengan kesempitan, antara globalitas dengan lokalitas. Tentu, suasana itu tidak statis, melainkan berubah dan bervariasi sesuai dengan perkembangan kekuatan-kekuatan ekonomi, sosial, dan kultural lokal, nasional, maupun global. Kebijakan otonomi daerah mungkin saja dapat membuat suasana itu bergerak ke arah kesempitan, primordialisme, yang dapat saja mengarah kepada menguatnya posisi lokalitas. Akan tetapi, ekspansi ekonomi kapitalisme global dapat membuat suasana di atas bergerak ke arah keterbukaan dan keluasan, tetapi sekaligus memperlemah kekuatan lokal. Puisi kedua penyair ini menawarkan dua alternatif sikap yang dapat diambil dalam tarik-menarik antara keluasan dengan kesempitan itu: Puisi Nahdiansyah memperlihatkan menguatnya lokalitas sehingga ia dapat mengartikulasikan secara bebas, menjebak idiom-idiom nasional dan global ke dalam jaring lokal, sedangkan puisi Hajriansyah memperlihatkan melemahnya lokalitas sehingga mendorong orang bergerak untuk mengglobal walaupun untuk itu ia harus jatuh bangun antara harapan dengan keputusasaan, jatuh bangun antara menajamnya orientasi budaya dengan disorientasi kultural.

FARUK070107